Kepada Yth.
Bapak-bapak yang terhormat
Yang mengaku peduli dengan sepak bola nasional
di.-
mana pun berada
Assalamu alaikum Wr.Wb
Salam olahraga (saya tidak tahu apakah ini masih pantas saya ucapkan buat bapak-bapak yang terhormat)
Surat
terbuka ini, saya tulis tidak dalam rangka mendiskreditkan pihak mana
pun. Ibarat seorang anak yang kecewa dengan pola tingkah laku orang
tuanya, maka anggaplah surat ini sebagai curahan hati seorang anak yang
sesak melihat kemelut di tubuh keluarganya (baca: PSSI) yang tak kunjung
berakhir.
Mengingat lirik lagu Olga Syaputra, hancur hatiku,
maka, secara pribadi itulah yang saya rasakan pascamenyaksikan bagaimana
bapak-bapak yang terhormat menunjukkan kepeduliannya terhadap sepak
bola kita dalam kongres PSSI yang diselenggarakan oleh Komite
Normalisasi PSSI.
Kehancuran itu mungkin tidak saya rasakan
sendiri, tak salah kiranya saya katakan kehancuran hati itu mewakili
ratusan juta pencinta sepak bola bangsa ini. Fenomena Kongres lalu
menjadi tanda tanya besar pada saya, benarkah setiap omongan dan
kengototan bapak-bapak pada kongres lalu bentuk kepedulian atau hanya
sebatas menunjukkan eksistensi diri bapak-bapak di kancah nasional dan
atau mungkin bapak sedang membawa satu misi menggagalkan kongres PSSI
dengan asumsi bila tidak calonku maka yang lain juga tak berhak untuk
maju.
Saya tidak tahu apa sebenarnya yang ada dalam pikiran
bapak-bapak sekalian. Jauh sebelum kongres digelar sedikit banyaknya
saya juga mendengar kata-kata manis dari para tokoh sepak bola ini bahwa
mereka begitu peduli dengan sepak bola. Lalu beginikah kepedulian yang
bapak terjemahkan menyikapi kemelut sepak bola kita?
Saya ingin
bertanya, sebenarnya kepentingan siapa yang bapak-bapak bawa pada
kongres lalu? Bila bapak menilai ada ketidakadilan, lantas keadilan
bagaimana yang bapak inginkan?
Pemilik suara yang terhormat
(walaupun dalam benak saya melihat gelagat bapak-bapak dalam kongres
sangat sulit memposisikan bapak sebagai orang yang terhormat)
Bagaimana
mungkin bapak rela membayar dengan mahal demi satu dua orang nama yang
dicoret oleh FIFA? Lalu cara berpikir bagaimana yang bapak gunakan
sehingga harga diri George Toisutta dan Arifin Panigoro yang menurut
Bapak dizolimi jauh lebih penting ketimbang nasib sepakbola kita yang
terancam sanksi dari FIFA oleh karena egoisme yang berlebihan dalam
kongres 20 Mei lalu.
Apakah adil namanya, mencari keadilan untuk
George dan Arifin Panigoro tetapi mengorbankan ratusan juta harapan
pencinta sepak bola. Lantas adil pulakah namanya bila oleh karena
kekerashatian bapak-bapak, industri sepak bola nasional kita akan
terpuruk. Ribuan orang akan menganggur, ribuan orang akan menggantungkan
cita-citanya, dan ironisnya lagi ketika itu terjadi, orang-orang yang
bapak-bapak pertahankan untuk maju sebagai kandidat saat ini ternyata
tidak merasa berdosa dan dengan angkuhnya berkata “kita bisa maju tanpa
FIFA”.
Saya heran, sebenarnya bapak-bapak bisa tidak membedakan
mana forum pemilihan gubernur, walikota, atau ketua RT sekali pun dengan
pemilihan ketua umum PSSI yang oleh FIFA dianggap tidak normal maka
dibentuklah komite normalisasi untuk menormalkan kembali semua itu?
Bagaimana mungkin orang yang mengaku tokoh sepak bola dengan angkuh
berkata “kami yang punya hak suara di sini, maka kami yang menentukan
segalanya.” Sejak kapan rakyat negeri ini mengakui bahwa sepak bola
punya bapak sendiri?
Bila suara bapak adalah representasi dari
suara rakyat Indonesia, maka tahukah Bapak apa yang diinginkan rakyat
ini? Kami hanya ingin sepak bola bangsa ini maju siapa pun pemimpinnya.
Itu saja, dan itu sangat sederhana sekali. Secara pribadi saya tidak
pernah memandang siapa yang paling barhak atas PSSI. Mau jenderal,
pengusaha, pengamat, politisi, budayawan, olahragawan, pejabat hingga
rakyat jelata tidak penting bagi Kami pecinta sepak bola ini. Bagi Kami
sepak bola harus tetap maju dan jaya dan jauh dari orang-orang yang
terlalu memaksakan kehendaknya atas nama sepak bola.
(Mungkin)
pasca kongres lalu, dengan bangga Bapak-bapak akan bercerita pada yang
lain bahwa bapak punya andil besar dalam rangka membatalkan kongres 20
Mei lalu. Bapak-bapak yang terhormat akan merasa menjadi orang paling
hebat dan berjasa. Tapi Bapak lupa, justru menyimak sikap bapak-bapak di
kongres lalu, saya malah memandang bapak-bapak pemilik suara kerdil
sekali bahkan sangat kerdil.
Saya katakan kerdil karena ketika
bapak dengan semangatnya menunjukkan egoisme bapak-bapak dalam kongres
dan dengan berapi-api memaksakan kehendak bapak oleh karena bapak merasa
layak mendapatkan keinginan itu, ternyata hanya dengan dua ketokan palu
oleh Pak Agum Gumilar, semua omongan bapak-bapak yang terhormat mentah
dan tidak berarti apa-apa.
Lalu di mana hebatnya bapak? Setelah
palu diketok, Bapak mau berbuat apa? Buat kongres tandingan? Untuk apa?
Untuk menyaingi siapa, dan siapa yang mengakui? FIFA? Ow, saya yakin
jangankan untuk mengakui, mendengar nama kongres tandingan itu saja FIFA
sudah gerah.
Mungkin, ini sudah penyakit bangsa ini. Pantang
diberi kesempatan dan pantang pula diberi kekuasaan mutlak.
Mentang-mentang punya hak suara, maka semaunya berbuat apa saja. Anehnya
lagi, dari 101 pemilik suara yang ada, kenapa kongres lalu begitu
didominasi oleh orang-orang yang berseberangan dengan Komite
Normalisasi? Apakah keberanian segelintir orang yang mungkin gerah
dengan suasana kongres lalu menjadi susut oleh karena tak terbendungnya
keadaan. Jujur, saya sangat berharap bapak-bapak tidak dibayar untuk
melakukan semua tindakan tidak sportif ini.
Bapak-bapak yang
budiman, saya orang yang tidak mengerti sepakbola. Karena bagi saya
sepakbola diukur dari kita menang atau kalah bukan dari figur siapa yang
menjadi ketua umum PSSI-nya. Dulu, jauh sebelum kongres digelar, dan
ketika bapak-bapak ribut dengan kepemimpinan Nurdin Halid, saya punya
ekspektasi yang begitu besar terhadap bapak-bapak sekalian. Tapi, kini
pandangan saya itu telah berubah 180 derajat. Buat saya, kemunduran
sepak bola nasional semata-mata bukan salah Nurdin Halid Cs, tapi
ternyata dengan watak kepemimpinan bapak-bapak sekalian, kemunduran itu
ternyata juga diakibatkan oleh Bapak-bapak si pemilik hak suara.
Sebagai
kaum muda Indonesia yang optimis, saya selalu diingatkan bahwa selalu
masih ada harapan. Kendati sanksi sedang menunggu di depan mata, saya
berharap itu tidak pernah menjadi kenyataan.
Dalam surat terbuka
ini saya juga ingin mengatakan “Bapak George Toisutta dan Bapak Arifin
Panigoro yang terhormat, Sudahlah Pak, disadari atau tidak kegagalan
kongres kali ini juga sangat berhubungan dengan keinginan kuat
Bapak-bapak untuk tetap maju sebagai ketua umum PSSI. Tapi Bapak-bapak
lupa, keinginan kuat bapak-bapak untuk memajukan sepak bola itu kini
justru menjadi ancaman bagi masa depan sepak bola nasional kita.
Layaknya
seorang anak yang memohon pada Bapaknya, Hentikan Pak, cukup sudah.
Bapak tetap bisa menunjukkan kepedulian itu dalam bentuk lain. Kita
mungkin sepakat, berbuat untuk sepak bola tidak harus menjadi ketua
umum. Banyak jalan menuju Roma dan banyak cara memajukan sepak bola.
Mungkin belum terlambat, kuburlah keinginan bapak yang kuat menjadi
ketua umum PSSI, dengan demikian pengorbanan besar itu membuktikan bagi
saya (dan mungkin ratusan juta pecinta sepak bola Indonesia lainnya)
bahwa Bapak-Bapak memang sangat, sangat dan sangat peduli dengan sepak
bola kita."
Semoga.
Salam hormat saya,
Samsul Pasaribu
Putra bangsa yang gerah dengan ulah para tokoh sepakbola nasional indonesia
Senin, 05 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar