Pages

Subscribe:

Senin, 05 Maret 2012

Surat Terbuka Buat Pemilik Suara PSSI

Kepada Yth.

Bapak-bapak yang terhormat

Yang mengaku peduli dengan sepak bola nasional

di.-

            mana pun berada



Assalamu alaikum Wr.Wb

Salam olahraga (saya tidak tahu apakah ini masih pantas saya ucapkan buat bapak-bapak yang terhormat)

Surat terbuka ini, saya tulis tidak dalam rangka mendiskreditkan pihak mana pun. Ibarat seorang anak yang kecewa dengan pola tingkah laku orang tuanya, maka anggaplah surat ini sebagai curahan hati seorang anak yang sesak melihat kemelut di tubuh keluarganya (baca: PSSI) yang tak kunjung berakhir.

Mengingat lirik lagu Olga Syaputra, hancur hatiku, maka, secara pribadi itulah yang saya rasakan pascamenyaksikan bagaimana bapak-bapak yang terhormat menunjukkan kepeduliannya terhadap sepak bola kita dalam kongres PSSI yang diselenggarakan oleh Komite Normalisasi PSSI.

Kehancuran itu mungkin tidak saya rasakan sendiri, tak salah kiranya saya katakan kehancuran hati itu mewakili ratusan juta pencinta sepak bola bangsa ini. Fenomena Kongres lalu menjadi tanda tanya besar pada saya, benarkah setiap omongan dan kengototan bapak-bapak pada kongres lalu bentuk kepedulian atau hanya sebatas menunjukkan eksistensi diri bapak-bapak di kancah nasional dan atau mungkin bapak sedang membawa satu misi menggagalkan kongres PSSI dengan asumsi bila tidak calonku maka yang lain juga tak berhak untuk maju.

Saya tidak tahu apa sebenarnya yang ada dalam pikiran bapak-bapak sekalian. Jauh sebelum kongres digelar sedikit banyaknya saya juga mendengar kata-kata manis dari para tokoh sepak bola ini bahwa mereka begitu peduli dengan sepak bola. Lalu beginikah kepedulian yang bapak terjemahkan menyikapi kemelut sepak bola kita?

Saya ingin bertanya, sebenarnya kepentingan siapa yang bapak-bapak bawa pada kongres lalu? Bila bapak menilai ada ketidakadilan, lantas keadilan bagaimana yang bapak inginkan?

Pemilik suara yang terhormat (walaupun dalam benak saya melihat gelagat bapak-bapak dalam kongres sangat sulit memposisikan bapak sebagai orang yang terhormat)

Bagaimana mungkin bapak rela membayar dengan mahal demi satu dua orang nama yang dicoret oleh FIFA? Lalu cara berpikir bagaimana yang bapak gunakan sehingga harga diri George Toisutta dan Arifin Panigoro yang menurut Bapak dizolimi jauh lebih penting ketimbang nasib sepakbola kita yang terancam sanksi dari FIFA oleh karena egoisme yang berlebihan dalam kongres 20 Mei lalu.

Apakah adil namanya, mencari keadilan untuk George dan Arifin Panigoro tetapi mengorbankan ratusan juta harapan pencinta sepak bola. Lantas adil pulakah namanya bila oleh karena kekerashatian bapak-bapak, industri sepak bola nasional kita akan terpuruk. Ribuan orang akan menganggur, ribuan orang akan menggantungkan cita-citanya, dan ironisnya lagi ketika itu terjadi, orang-orang yang bapak-bapak pertahankan untuk maju sebagai kandidat saat ini ternyata tidak merasa berdosa dan dengan angkuhnya berkata “kita bisa maju tanpa FIFA”.

Saya heran, sebenarnya bapak-bapak bisa tidak membedakan mana forum pemilihan gubernur, walikota, atau ketua RT sekali pun dengan pemilihan ketua umum PSSI yang oleh FIFA dianggap tidak normal maka dibentuklah komite normalisasi untuk menormalkan kembali semua itu? Bagaimana mungkin orang yang mengaku tokoh sepak bola dengan angkuh berkata “kami yang punya hak suara di sini, maka kami yang menentukan segalanya.” Sejak kapan rakyat negeri ini mengakui bahwa sepak bola punya bapak sendiri?

Bila suara bapak adalah representasi dari suara rakyat Indonesia, maka tahukah Bapak apa yang diinginkan rakyat ini? Kami hanya ingin sepak bola bangsa ini maju siapa pun pemimpinnya. Itu saja, dan itu sangat sederhana sekali. Secara pribadi saya tidak pernah memandang siapa yang paling barhak atas PSSI. Mau jenderal, pengusaha, pengamat, politisi, budayawan, olahragawan, pejabat hingga rakyat jelata tidak penting bagi Kami pecinta sepak bola ini. Bagi Kami sepak bola harus tetap maju dan jaya dan jauh dari orang-orang yang terlalu memaksakan kehendaknya atas nama sepak bola.

(Mungkin) pasca kongres lalu, dengan bangga Bapak-bapak akan bercerita pada yang lain bahwa bapak punya andil besar dalam rangka membatalkan kongres 20 Mei lalu. Bapak-bapak yang terhormat akan merasa menjadi orang paling hebat dan berjasa. Tapi Bapak lupa, justru menyimak sikap bapak-bapak di kongres lalu, saya malah memandang bapak-bapak pemilik suara kerdil sekali bahkan sangat kerdil.

Saya katakan kerdil karena ketika bapak dengan semangatnya menunjukkan egoisme bapak-bapak dalam kongres dan dengan berapi-api memaksakan kehendak bapak oleh karena bapak merasa layak mendapatkan keinginan itu, ternyata hanya dengan dua ketokan palu oleh Pak Agum Gumilar, semua omongan bapak-bapak yang terhormat mentah dan tidak berarti apa-apa.

Lalu di mana hebatnya bapak? Setelah palu diketok, Bapak mau berbuat apa? Buat kongres tandingan? Untuk apa? Untuk menyaingi siapa, dan siapa yang mengakui? FIFA? Ow, saya yakin jangankan untuk mengakui, mendengar nama kongres tandingan itu saja FIFA sudah gerah.

Mungkin, ini sudah penyakit bangsa ini. Pantang diberi kesempatan dan pantang pula diberi kekuasaan mutlak. Mentang-mentang punya hak suara, maka semaunya berbuat apa saja. Anehnya lagi, dari 101 pemilik suara yang ada, kenapa kongres lalu begitu didominasi oleh orang-orang yang berseberangan dengan Komite Normalisasi? Apakah keberanian segelintir orang yang mungkin gerah dengan suasana kongres lalu menjadi susut oleh karena tak terbendungnya keadaan. Jujur, saya sangat berharap bapak-bapak tidak dibayar untuk melakukan semua tindakan tidak sportif ini.

Bapak-bapak yang budiman, saya orang yang tidak mengerti sepakbola. Karena bagi saya sepakbola diukur dari kita menang atau kalah bukan dari figur siapa yang menjadi ketua umum PSSI-nya. Dulu, jauh sebelum kongres digelar, dan ketika bapak-bapak ribut dengan kepemimpinan Nurdin Halid, saya punya ekspektasi yang begitu besar terhadap bapak-bapak sekalian. Tapi, kini pandangan saya itu telah berubah 180 derajat. Buat saya, kemunduran sepak bola nasional semata-mata bukan salah Nurdin Halid Cs, tapi ternyata dengan watak kepemimpinan bapak-bapak sekalian, kemunduran itu ternyata juga diakibatkan oleh Bapak-bapak si pemilik hak suara.

Sebagai kaum muda Indonesia yang optimis, saya selalu diingatkan bahwa selalu masih ada harapan. Kendati sanksi sedang menunggu di depan mata, saya berharap itu tidak pernah menjadi kenyataan.

Dalam surat terbuka ini saya juga ingin mengatakan “Bapak George Toisutta dan Bapak Arifin Panigoro yang terhormat, Sudahlah Pak, disadari atau tidak kegagalan kongres kali ini juga sangat berhubungan dengan keinginan kuat Bapak-bapak untuk tetap maju sebagai ketua umum PSSI. Tapi Bapak-bapak lupa, keinginan kuat bapak-bapak untuk memajukan sepak bola itu kini justru menjadi ancaman bagi masa depan sepak bola nasional kita.

Layaknya seorang anak yang memohon pada Bapaknya, Hentikan Pak, cukup sudah. Bapak tetap bisa menunjukkan kepedulian itu dalam bentuk lain. Kita mungkin sepakat, berbuat untuk sepak bola tidak harus menjadi ketua umum. Banyak jalan menuju Roma dan banyak cara memajukan sepak bola. Mungkin belum terlambat, kuburlah keinginan bapak yang kuat menjadi ketua umum PSSI, dengan demikian pengorbanan besar itu membuktikan bagi saya (dan mungkin ratusan juta pecinta sepak bola Indonesia lainnya) bahwa Bapak-Bapak memang sangat, sangat dan sangat peduli dengan sepak bola kita."

Semoga.


Salam hormat saya,

Samsul Pasaribu

Putra bangsa yang gerah dengan ulah para tokoh sepakbola nasional indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free INDONESIA Cursors at www.totallyfreecursors.com